A.
Pengertian
Manajemen Berbasis Sekolah
Manajemen
Berbasis Sekolah (MBS) merupakan padanan kata dari School-based Management
(SBM). Dalam hal ini Bank Dunia (The
World Bank) telah memberikan pengertian bahwa “ School-based Management is the decentralization of levels of
authority to the schoollevel. Responsibility and decision-making over school
operations is transferred to principals, teachers, parents, sometimes students,
other school community members. The school-level actors, however, have to
conform to, or operate, within a set of centallydetermined policies. (“ MBS
adalah desentralisasi level otoritas penyelenggaraan sekolah kepada level
sekolah. Tanggung Jawab dan pengambilan keputusan terhadap pelaksanaan atau
penyelenggaraan sekolah telah diserahkan kepala sekolah, guru – guru, para
orang tua siswa, kadang-kadang peserta didik atau siswa,dan anggota komunitas
sekolah yang lainnya”)
Dalam
kesempatan lain, Bank Dunia (The World
Bank) dalam kalimat yang sedikit berbeda, tetapi hakikatnya sama. “ School-based management (SMB) is a
strategi to improve education by transferring significant decision-making
authority from state and district offices to individual schools. SMB provides
principals, teachers,students, and parents greater control over the education
process by giving them responsibility for decisions about the budget,
personnel, and the curriculum. Through the involvement of teachers, parents,
and other community members in these key decisions, SBM can create more effective
learning environments for children”. (“Manajemen Berbasis Sekolah adalah
satu strategi untuk meningkatkan seolah dengan menyerahkan otoritas pengambilan
keputusan secara signifikan dari negara dan kabupaten kepadasatuan pendidikan
sekolah secara individual. MBS menyediakan para kepala sekolah, guru-guru, para
siswa, dan para orang tua siswa, untuk melakukan pengawasan secara lebih besar
terhadap proses pendidikan dengan memberikan tanggung jawab untuk untuk
pengambilan tentang anggaran, pernonel, dan kurikulum”).
Berdasarkan
pengertian tersebut, penerapan MBS di satuan pendidikan sekolah sesungguhnya
terkait dengan bagaimana proses penentukan kebijakan sekolah harus ditetapkan
oleh sekolah. Dengan konsep MBS, proses penentuan kebijakan harus ditetapkan
pleh semua pemangku kepentingan (stakeholders)
pendidikan di sekolah. Inilah sesungguhnya yang dikenal sebagai indikator atau
karakteristik utama MBS. Jika sebelumnya, kepala sekolah menentukan semua
kebijakan sekolah sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam menentukan
kebijakan sekolah, maka dengan MBS kepala sekolah harus menerapkan kepemimpinan
partisipatif, yaitu kepemimpinan dengan prinsip memberikan pelibatan secara
luas kepada semua pemangku kepentingan yang terkait dengan penyelenggaraan pendidikan
di sekolah secara demokratis. Otokrasi (kekuasaan diri-sendiri) kepala sekolah
harus berubah menjadidemokrasi (kekuasaan rakyat) atau keterlibatan semua pihak
yang terkait dengan penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Akibatnya,
keberhasilanatau kegagalan dari pelaksanaan kebijakan tersebut nanti akan
menjadi keberhasilan atau pun kegagalan bersama.
Memang,
kepala sekolah harus menjadi pemimpin dari keseluruhan proses penyelenggaraan
pendidikan di sekolah. Kepala sekolah memang juga harus menjalankan
kepemimpinan yang kuat (strong principal leader-ship), tetapi kepemimpinan
tersebut harus dilaksanakan secara demokratis dan parsipatif. Ada beberapa
tingkatan dalam pelaksanaan MBS di sekolah, seperti kewenangan hanya dari
kepala sekolah kepada para guru saja. Tingkatan berikutnya, penyerahan
kewenangan manajemen telah diserahkan sampai kepada siswa dan partisipasi orang
tua siswa melalui Komite Sekolah, bahkan juga kepada masyarakat. Bidang
kewenangan apa sayabyang diserahkan? Beberapa urusan yang telah diserahkan
kepada semua pemangku kepentingan sekolah antara lain ;
1. Penyusunan
RAPBS menjadi APBS;
2. Penyusunan
Rencana Pengembangan Sekolah (RPS); dan
3. Penyusunan
Kurikulum Tingkatan Satuan Pendidikan (KTSP)
Sementara itu, urusan – urusan
penyelenggaraan pendidikan, seperti pengangkatan guru dan tenaga administrasi
sekolah, penyampaian laporan hasil belajar siswa, masih lebih banyak diberikan
kepada pihak kepala sekolah dan para pendidik di sekolah.
B.
Sejarah
Kelahiran MBS
Negara
Inggris Raya, New Zealand, beberapa negara bagian di Australia, dan Ameria
Serikat adalah negara yang pertama kali di tahun 1970-an telah menerapkan
kebijakan MBS dalam agenda pembangunan pendidikannya. Pada tahun 1990-an,
kebijakan MBS kemudian diadopsi di negara-negara Asia,termasuk wilayah Hongkong
(China), Sri Langka, Korea, Nepal, dan dunia Arab. Daerah Eropa Timur, revolusi
politik pada tahun 1990-an telah menimbulkan perubahan dalam kebijakan
pendidikan, yang kemudian merambat ke daerah Afrika, kawasan Latin Amerika, dan
negara-negara berkembang lainnya di seluruh dunia.
Kebanyakan
proyek MBS yang dibiayai oleh Bank Dunia juga telah dikembangkan dan
dilaksanakan di AmerikaLatin dan negara-negara di Asia Selatan, seperti
Argentina, Bangladesh, Guatemala, Honduras, India, Meksiko dan Sri Langka. Ada
dua proyek MBS yang juga didukung oleh Bank Dunia di negara-negara Eropa dan
Asia Tengah antara lain do Mekedonia, Serbia, dan Montenegro, dan di
negara-negara Asia Timur dan Asia Pasifik (Filipina), negara-negara Timur
Tengah dan Afrika Utara (Lebanon), serta negara Afrika Sub-Sahara(Lesotho).
Proyek dan program MBS yang lain juga telah diperkenalkan di Madagaskar,Gambia,
dan Sinegal.
Pengembangan
dan pelaksanaanMBS akhirnya juga sampai ke Indonesia melalui beberapa program
dan kegiatan, baik yang dibiayai oleh dana dari dalam negeri maupun dari luar
negeri. Misalnya, program Managing BasicEducation (MBE) dari USAids, program
WholeSchool Development (WSD) dan Whole District Develompment (WDD) yang
dibiayai olehAustralia-Indonesia Basic Education Program (AIBEP). Materi utama
yang diberikan sebagai pelatih capacity
building untuk semua pemangku kepentingan di Indonesia melalui program
tersebut, seperti MBS, selain Pembelajaran Aktif, Kreatif dan Menyenangkan
(PAKEM), yang kini menjadi PembelajaranAktif, Inovatif,Kreatif,Efektif, dan
Menyenangkan (PAIKEM) dan Peran Serta Masyarakat (PSM).
Kelahiran
MBS pada awalnya menggunakan beberapa nama yang berbeda-beda, yaitu tat kelola
sekolah (school-based governane),
manajemen mandiri sekolah (school self-management),
dan bahkan jugabdikenal dengan School site management atau manajemen yang
bermarkas disekolah. Istilah-istilah tersebut memang mempunyai kepekanan
pengertian yang sedikit berbeda. Namun, nama-nama tersebut memiliki roh yang
sama, yakni sekolah diharapkan dapat menjadi lebih otonom dalam pelaksanaan
manajemen sekolahnya, khususnya dalam penggunaanya 3M-nya, yakni man,money, dan
material. Penyerahan otonomi dalam pengelolaan sekolah ini diberikan untuk
peningkatan mutu pendidikan. Oleh karena itu, maka Direktorar Pembinaan SMP
menamakan MBS sebagai Manajemen Peningkatan Mitu Berbasis Sekolah (MPMBS).
C. Mengapa MBS itu Penting?
Ada dua alasan penting untuk dapat
menjelaskan mengapa MBS penting untuk diterapkan dalam sistem pengelolaan dan penyelenggaraan
pendidikan di Indonesia.
Pertama,
MBS dapat mengingkatkan akuntabilitas kepala sekolah dan guru terhadap peserta
didik, orang tua siswa, dan masyarakat. Mekanisme akuntabilitas yang semula
masih harus menunggu adanya laporan tertulis (kalau ada) dari kepala
sekolahatau para guru, maka dengan penerapan MBS sejak awal apa yang harus
dilaporkan itu telah dapat diketahui secara lebih awal. Misalnya, sebelum MBS,
belum banyak pemangku kepentingan yang mengetahui beberapa besar anggaran yang
tertuang di dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (RAPBS). Namun,
dengan penerapan MBS, pada awal tahun pelajaran baru, semuanya telah diketahui
RAPBS, yang memegang harus dipajang di papan pengumuman sekolah.
Kedua,
MBS memberikan keterbukaan kepada semua pemangku kepentingan dalam memberikan
saran dan masukan untuk penentukan kebijakan-kebijakan penting yang diperlukan
oleh sekolah, Dengan demikian, aspirasidari semua pemangku kepentingan sangat
dihargai untuk menjadi bagian penting dalam penentukan kebijakan yang akan
diambil oleh lembaga pendidikan sekolah.
D.
Dampak
Penerapan MBS
Berdasarkan
hasil evaluasi pelaksanaan MBS di Nikaragua, ditemukan bahwa 100% sumber daya
sekolah telah dialokasikan untuk kepentingan sekolah. Untuk ini Komite
Sekolah-Komote Sekolah di negara-negara Amerika Latin merasa puas. Dua dampak
penting penerapan MBS adalah sebagai berikut :
Pertama,
penerapan MBS mempunyai kontribusi yang lebih baik dalam menaikan hasil belajar
siswa (King and Ozler, 1998, Ozler,2001).
Kedua, penerapan MBS di Meksiko ternyata juga telah meningkatkan peran
serta sekolah-sekolah di daerah pedesaan dan bahkan di sekolah-sekolah yang
para siswanya berasal dari suku asli (indegenous
schools). Ketiga, beberapa hasil
evaluasi terhadap penerapan MBS pada khususnya, dan penerapan desentralisasi
pendidikan di Ameria Serikat telah dapat menurunkan angka putus sekolah (DO),
meskipun secara langsung tidak mempunyai dampak dalam nilai hasil belajar.
E.
Beberapa
Hasil Penelitian tentang MBS
Terkait
dengan MBS, pertanyaan yang sering diajukan adalag tentang hasil penelitian
tentang MBS. Apa saja temuan hasil penelitian tentang penerapan MBS? Benarkah
penerapan MBS memang benar-benar dapat mendogkrak mutu pendidikan? Sebagaian
besar berisi tulisan ini disarikan dari artikelbertajuk “Improving The Quality of Education Through School-Based Management :
Learning From International Experiences”,
oleh Anton De Grouwe dalam jurnal International Review of Education . Tentu
saja, tulisan ini juga diberi bumbu-bumbu contoh yang terjadi di negeri
sendiri.
Leithwood
dan Menzies (1998b) menemukan adanya empat model MBS dari hasil Penelitiannya,
sebagai berikut.
1. Kontrol
administratif, kepala sekolah dominan sebagai representasi daei administrasi
pendidikan.
2. Kontrol
profesional, pendidik menerima otoritas.
3. Kontrol
masyarakat, kelompok masyarakat dan orang tua peserta didik, melalui Komite
Sekolah, terlibat dalam kegiatan sekolah.
4. Kontrol
secara seimbang, orang tua siswa dan kelompok profesional (kepala sekolah dan
pendidik) saling bekerja sama secara seimbang.
Keempat
model MBS tersebut, sebenarnya merupakan berbagai varian yang muncul dalam
proses pemberian otonomi. Pada awal pemberian otonomi, model yang pertama (kepala sekolah dominan) telah lahir dengan sosok
sebagai raja-raja kecil yang berkuasa di berbagai satuan organisasi, termasuk
kabupaten/kota sampai dengan satuan pendidikan sekolah. Model kedua, para guru
telah dilibatkan dalam manajemen sekolah. Model ketiga, masyarakat dan orang
tua siswa telah dilibatkan dalam kegiatan sekolah. Model keempat adalahmodel
ideal yang diharapkan.Model keempat ini merupakan model hubungan sinergis
antara keluarga, sekolah, dan masyarakat, yang diharapkan dapat mendongkrak
upaya peningkatan mutu pendidikan.
Dalin (1994), Carron dan Chau (1996) menemukan
dalam penelitiannya bahwa kualitas pendidikan lebih ditentukan oleh cara
sekolah mengelola sumberdaya ketimbang oleh ketersediaan sumberdayanya sendiri.
Sumber daya yang ada di sekolah boleh jadi akan menjadi malapetaka bagi semua
pihak jika kepala sekolah tidak dapat mengelolanyaa secara trasparan. Faktor
lain yang memengaruhi kualitas pendidikan adala ah kemampuan kepala sekolah
dalam meningkatkan proses belajar mengajar. Debgan demikian, kedua faktor
tersebut (ketersediaan sumber daya dan proses belajar mengajar)harus dikelola
secara profesional oleh pihak sekolah.
Penerapan MBS disekolah banyak negara
berkembang, walaupun sering tidak memperoleh dukungan yang memadahi dari pihak
penguasa lokal maupun dimasyarakat. Pemerintah daerah yang lemag tidak dapat
diharapkan untuk mendukung pelaksanaan prinsip manajemen modern
(demokratis,transparan,dan akuntabel). Pelaksanaan MBS di sekolah, seperti
mengelola dana BOS, pihak kepala sekolah dan komite sekolah masih juga
memperoleh tekanan dari berbagai pihak. Campur tangan pemerintah daerah pada
umumnya bukan dalam bentuk supervisi yang positif, justru berupa intervensi
negatif. Agaknya, tidak sedikit kepala sekolah yang dikejar-kejar
"wartawan amplop" yang sering' nongkrong ' disekolah untuk menunggu
datangnya kepala sekolah. Itulah sebabnya penerapan MBS disekolah pada sisi
yang lain menjadi ladang yang subur untuk tumbuhnya KKN di level birokrasi yang
paling bawah ini. Akibatnya, ada kepala sekolah yang tidak mau pekerjaan manajemen
yang berat ini, karena alasan beban berat sebagai pemimpin instruksional (instructional
leader) atau pemimpin
dalam bidang kependidikan (pedagogical
leader) menjadi amburadul, lantaran disibukkan oleh pekerjaan teknis
administratif dan manajerial yang harus dituntaskan setiap hari. Dengan
terpaksa harus belanja komputer, buku pelajaran, alat tulis kantor (ATK),
karena tidak memiliki staf adninistrasi sebagai mana di SMP dan SMA. Akibatnya,
pelaksanaan MBS disekolah menjadi dulema (Dempster, 2000). Bahkan penerapan MBS
boleh jadi menimbulkan stres berat bagi kepala sekolah (Whitaker,2003 dan
William,2003).
Selain itu, penerapan MBS ternyata juga sarat
dengab masalah bias gender (Limerick dan Anderson, 1999). Hal ini karena banyak
kepala sekolah wanita yang merasakan keberatan untuk melaksanakan beban berat
mengurus bidang administrasi dan manajemen tersebut. Seseorang kepala sekolah
di SMA pernah mendatangi penulis dan menjelaskan bahwa sekolahnya terpaksa
menolak bantuan block grant dari
pemerintah. Alasannya, karena urusan teknis edukatif di sekolahnya menurutnya
menjadi tidak terurus dengan baik lagi dan mendapat tambahan untuk mengurus
dana bantuan block grant tersebut.
Sekali lagi, penerapan MBS juga mengalami
masalah, khususnya di daerah yang pedesaan atau daerah yang terpencil (remote areas). Banyak orang tua siswa
dan masyarakat di pedesaan yang tidak mau terlibat dalam kegiatan Komite
Sekolah.Masalahnya ternyata bukan hanya karena masalah kapasitasnya yang
rendah, tetapi lebih karena budaya yang hanya menyerahkan bulat-bulat urusan
pendidikan kepada pihak sekolah. Bahkan, dalam beberapa kasus, penerapan MBS
lebih sebagai instrumen politik untuk membangun kekuasaan. Dengan MBS,
seakan-akan pemerintah telah memberikan otonomi kepala sekolah, padahal sesungguhnya
sekolah dan masyarakat belum siap untuk menerima semua itu. Hal yang sama pun
terjadi di negara maju seperti di negara bagian Australia. Respresentasi dan
masyarakat kelompok minoritas dinilai kecil dalam komposisi kepengurusan Komite
Sekolah (Ferguson, 1998).
Dampak negatif yang sama terjadi dalam
prlaksanaan desentralisasi di Afrika Barat (Lugaz dan De Grouwe), dimana
penerapan MBS di sekolah justru dapat menyebabkan meningkatnya monopoli
kekuasaan di level pemerintah daerah. Orang tua dan pendidik hampit tidak punya
pengetahuan untuk mengontrol yang telah diterima oleh sekolah. Tidak adanya
trasparansi dalam penggunaan uang sekolah dari orang tua siswa tersebut sering
menimbulkan kesan kesan terjadinya monopoli kekuasaan pada level pemerintah daerah.
Hasil penelitian tentang dampak penerapan MBS
terhadap mutu pendidikan ternyata sangat bervariasi. Ada penelitian yang
menyatakan negatif. Ada yang kosong-kosong. Adapula yang positif penelitianyang
dilakukan oleh Leithwood dan Menzies (1998a) dengan 83 studi empirikal tentang MBS
menyatakan bahwa penerapan MBS terhadap mutu pendidikan ternyata negatif, "there is virtually no from". Fullan (1993) juga menyatakan kesimpulan yang kurang lebih sama.
"There is also no doubt that
evidence of a direct cause-and-effect relationship between self-management and
improved outcomes is minimal". Tidak diragukan lagi bahwa hubungan
sebab akibat hubungan anatara MBS dengan peningkatan mutu hasil pendidikan
adalah minimal. Hal ini dapat dimengerti karena penerapan MBS tidak secara
langsung terkait dengan kejadian di ruang kelas.
Sebaliknya, Gaziel (1998) menyimpulkan hasil
penelitian disekolah Esrael bahwa "greater school autonomy has a positive impact
on teacher motivation and commitment on the school ' s achievement". (Pemberian otonomi yang lebih besar keoada
sekolah telah mempunyai dampak positif terhadap motivasi dan komitmen guru dan
terhadap kebersihan sekolah). HAsil penelitian William (1997) di Kerajaan
Inggris dan New Zealand menunjukan indikasi bahwa" the increase decision- making power of principals has allowwed
them to introduce innovative programs and practices".(Peningkatan
kemampuan kepala sekolah dalam pengambilan keputusan telah membuat
memperkenalkan program dan praktik (penyelenggaraan pendidikan) yang inovatif
). Geoff Spring, arsitek reformasi di Australia Selatan dan Victoria menyatakan
bahwa "school-based management has
led to higher student achievement". Hal yang sejalan juga dilaporkan
oleh De Grouwe (1999). Hal yang menggembirakan juga dinyatakan oleh King dan
Ozler (1998) menyatakan bahwa "endhanced community and parental involvement
in EDUCO schools has improved students ' language skills and diminished
absenteeism".
Jemenes danSawada (1998) menyimpulkan bahwa pelibatan masyarakat dan orang tua
siswa mempunyai dampak jangka panjang dalam peningkatan hasil belajar.
Misalnya,Dimmock (1993) dan Caldwell (1994) menemukan bahwa MBS memiliki 5
keunggulan sebagai berikut.
1. MBS adalah lebih demokratis.MBS memungkinkan
guru dan orang tua siswa dapat mengambil keputusan tentang pendidikan dengan
cara-cara yang lebih demokratis dari pada hanya sekedar memberikan kewenangan
kepada orang-orang yang terbatas atau satu kelompok orang pada level pusat.
2. MBS adalah lebih relevan.
3. MBS adalah tidak birokratis.
4. MBS memungkinkan untuk lebih memiliki
akuntabilitas.
5. MBS memungkinkan untuk dapat memobilisasi
sumber daya secara lebih besar.
F.
Strategi
Peningkatan Mutu Pendidikan Melalui Penerapan MBS
Konsep
MBS merupakan mebijakan baru yang sejalan dengan paradigma desentraliasi dalam
pemerintahan. Strategi apa yang diharapkan agar penerapan MBS dapat bena-benar meningkatkan mutu
pendidikan.
Pertama,
salah satu strategi adalah menciptakan prakondisi yang kondusif untuk dapat
menerapkan MBS, yakni peningkatan kapasitas dan komitmen seluruh warga sekolah,
termasuk masyarakat dan orang tua siswa. Uapaya untuk memperkuat peran kepala
sekolah harus menjadi kebijakan yang mengiringi penerapan kebijakan MBS."An essential point is that schools and
teacher will need capacity building if school-based management is to
work". Demikian De Grouwe menegaskan.
Kedua,
membangun budaya sekolah (school culture)
yang demokratis, trasparan, dan akuntabel. Termasuk membiasakan sekolah untuk
membuat laporan pertanggung jawaban kepada masyarakat. Model memajangkan RAPBS
dipapan penguman sekolah yang dilakukan oleh Managing Basic Education (MBE)
merupakan tahap awal yang sangat positif. Juga membuat laporan secara
insidental berupa booklet, leaflet, atau poster tentang rencana kegiatan
sekolah. Alangkah serasinya jika kepala sekolah dan ketua Komite sekolah dapat
tampil bersama dalam media tersebut.
Ketiga,
pemerintah pusat lebih memainkan peran monitoring dan evaluasi. Dengan kata
lain , pemerintah pusat dan pemerintah daerah perlu melakukan kegiatan bersama
dalam rangka monitoring dan evaluasi pelaksanaan MBS di sekolah, termasuk pelaksanaan
block grant yang diterima sekolah.
Keempat,
mengembangkan model program pemberdayaan sekolah. Bukan hanya sekedar melakukan
pelatihan MBS , yang lebih banyak dipenuhi dengan pemberian informasi kepada
sekolah. Model pemberdayaan sekolah berupa pendampingan atau fasilitas dinilai
lebih memberikan hasil yang lebih nyata dibandingkan dengan pola-pola lama
berupa penataran MBS.
Manajemen
berbasis sekolah telah banyak diterapkan disekolah, bukan hanya dinegara maju,
tetapi juga telah menyebar di negara berkembang. Penerapan MBS telah banyak
menjanjikan untuk peningkatan mutu pendidikan. Penerapan MBS akan berhasil jika
diberikan prakondisi dengan membangun
kapasitas dan komitmen sekolah, termasuk semua pemangku kepentingan, yang
memiliki tanggung jawab bersama terhadap upaya peningkatan mutu pendidikan.
Keberbasilan sekolah dalam menerapkan MBS dipengaruhi oleh kepedulian
pemerintah pusat dan daerah untuk mendorong dan memberikan kesempatan sekolah
menerapkan MBS di sekolah.
G.
Keuntungan
penerapan MBS
Menurut
Asosiasi Administor Sekolah Amerika atau The American Association of School
Administrator (aasa), Asosiasi Nasional Kepala Sekolah SD atau The National
Association of Elementary School Principals (NAESP), Asosiasi Nasional Kerja
SMP atau The National Association of Secondary School Principals (NASSP), dan
sumber-sumber lainnya, menyatakan bahwa MBS dapat :
1. Membuat
para individu yang kompeten di sekolah untuk membuat keputusan yang dapat
meningkatkan pembelajaran;
2. Memberikan
hak bersuara kepada seluruh komunitas sekolah dalam pengambilN keputusan kunci;
3. Menekankan
akuntabilitas untuk pengambilan keputusan;
4. Mendorong
kreativitas yang lebih besar dalam perancangan program;
5. Mengarahkan
kembali sumber daya untuk mendukung pencapaian tuhuan yang telah dikembangkan
di masing-masing sekolah;
6. Mendorong
anggaran yang realistik agar orang tua siswa dan guru menjadi lebih sadar
tentang status keuangan sekolah, keterbatasan pengeluaran, dan biaya-biaya yang
diperlukan untuk pelaksanaan program-program ; dan
7. Meningkatkan
semangat para guru dan para petugas lainnya pada semu level di sekolah.
Penerapan
MBS pada satuan pendidikan sekolah merupakan indikator kunci pelaksanaan
desentralisasi pendidikan atau otonomi pendidikan pada level akar rumput. Jika
dalam desentralisasi atau otonomi urusan pemerintah dalam bidang pendidikan
telah diserahkan kepada pemerintah daerah kabupaten/kota maka pada level yang
paling bawah, penerapan desentralisasi atau otonomi pendidikan tersebut telah
diserahkan kepada satuan pendidikan sekolah melalui penerapan MBS. Dengan
penerapan MBS, masyarakat peduli pendidikan terlibat dalam proses perencanaan,
pelaksanaan,pemantauan, dan evaluasi dalam pelaksanaan program pendidikan.
Melalui MBS,semu unsur pemangku kepentingan (stakeholders) dalam bidang pendidikan dapat meningkatkan sinergi
untuk mencapai tujuan pendidikan yng telah diseoakati bersama, yakni pendidikan
yang merata dan bermutu.
H.
Penerapan
MBS
a.
Penyusunan
Rencana pengembangan Sekolah (RPS)
Untuk
dapat melaksanakan fungsi-fungsi manajeman dengan baik, setiap satuan
pendidikan sekolah/madrasah harus merumuskan dan menetapkan visi satuan
pendidikan, dan kemudian mengembangkan visi satuan pendidikan sekoalh tersebut
menjadi misi dan tujuan sekolah. Rumusan visi,misi dan tujuan sekoalh tertuang
di dalam Rencana Pengembangan Sekoalah (RPS).
Berkenaan
dengan visi sekoah, Permendiknas NO. 17 Tahun 2007 menjelaskan sebagai berikut
:
1. Setiap
sekolah/madrasah harus merumuskan dan menetapkan visi serta mengembangkannya
menjadi misi dan tujuan sekolah.
2. Visi
sekolah/madrasah tersebut :
1) Dijadikan
sebagai cita-cita bersama warga sekolah/ madrasah dan segenap pihak yang
berkepentingan pada masa yang akan datang ;
2) Mampu
memberikan inspirasi, motivasi dan kekuatan pada warga sekolah/madrasah dan
segenap pihak yang berkepentingan;
3) Dirumuskan
berdasar masukan dari warga sekolah/madrasah dan pihak-pihak yang
berkepentingan , selaras dengan visi institusi di atasnya serta visi pendidikan
nasional ;
4) Diputuskan
oleh rapat dewan oendidik yang dipimpin oleh kepala sekolah/madrasah dengan
memperhatikan masukan komite sekolah/madrasah;
5) Disosialisasikan
kepada warga sekolah/madrasah dan segenap pihak yang berkepentingan
6) Ditinjau
dan dirumuskan kembali secara berkala sesuai dengan perkembangan dan tantangan
di masyarakat.
Sementara
tentang misi sekolah/madrasah dijelaskan sebagai berikut :
1. Sekolah/Madrasah
merumuskan dan menetapkan misi serta mengembangkannya.
2. Misi
sekolah/madrasah :
1) Memberikan
arah dalam mewujudkan visi sekolah/madrasah sesuai dengan tujuan pendidikan
nasional ;
2) Merupakan
tujuan yang akan dicapai dalam kurun waktu tertentu;
3) Menjadi
dasar program sekolah/madrasah;
4) Menekankan
pada kualitas layanan peserta didik dan mutu lulusan yang diharapkan oleh
sekolah/madrasah ;
5) Memuat
pertanyaanumum dan khusus yang berkaitan dengan program sekolah/madrasah;
6) Memberikan
keluwesan dan rusng gerak pengembangan kegiatan satuan-satuan unit
sekolah/madrasah yang terlibat;
7) Dirumuskan
berdasarkan masukan dari segenap pihak yang berkepentingan termasuk komite
sekolah/madrasah dan diputuska oleh rapat dewan pendidik yang dipimpin oleh
kepala sekolah/madrasah;
8) Disosialisasikan
kepada warga sekolah/madrasah dan segenap pihak yang berkepentingan ;
9) Ditinjau
dirumusan kembali secara berkala sesuai denganperkembangan dan tantangandi
masyarakat.
Berkenaan
dengan tujuan Sekolah/Madrasah dijelaskan sebagai berikut :
1. Sekolah
/Madrasah merumuskan dan menetapkan tujuan serta mengembangkannya.
2. Tujuan
sekolah/madrasah :
1)
Mengambarkan tingkat kualitas yang perlu
dicapai dalam jangka menengah (empat tahunan);
2)
Mengacu pada visi,misi dan tujuan
pendidikan nasional serta relevan dengan kebutuhan masyarakat;
3)
Mengacu pada standar kompetensi lulusan
yang sudah ditetapkan oleh sekolah/madrasah dan Pemerintah;
4)
Mengakomodasika masukan dari berbagai
pihak yangberkepentingan termasuk komite sekolah/madrasah dan diputuskan oleh
rapat dewan pendidik yang dipimpin oleh kepala sekolah/madrasah;
5)
Disosialisasikan kepada warga
sekolah/madrasah dan segenap pihak yang berkepentingan.
Yang
terakhir, satuan pendidikan sekolah/madrasah harus memiliki Rencana Kerja
Sekolah/Madrasah (RKS/M) yang dijelaskan dalam Permendiknas Nomer 19 Tahun 2007
sebagai berikut:
1. Rencana
kerja jangka menengah yang menggambarkan tujuan yang akan dicapai dalam kurun
waktu empat tahun yang berkaitan dengan mutu lulusan yang ingin dicapai dan
perbaikan komponen yang mendukung peningkatan mutu lulusan;
2. Rencana
kerja tahunan yang dinyatakan dalam Rencana Kegiatan dan Anggaran
Sekolah/Madrasah (RKAS-M) dilaksanakan berdasarkan rencana jangka menengah ;
3. Rencana
kerja jangka menengah dan tahunan sekolah/madrasah disetujui dalam rapat dewan
pendidik yang dipimpin oleh kepala sekolah, setelah diperhatikan pertimbangan
dari komite sekolah/madrasah dan disahkan berlakunya oleh dinas pendidikan kabupaten/kota.
Pada sekolah/madrasah swasta rencana kerja ini disahkan berlakunya oleh
penyelenggara sekolah/madrasah ; dituangkan dalam dokumen yang mudah dibaca
oleh pihak-pihak yang terkait ;
4. Rencana
kerja empat tahun dan tahunan disesuaikan dengan persetujuan rapat dewan
pendidik dan pertimbangan komite sekolah/madrasah ;
5. Rencana
kerja tahunan dijadikan dasar dalm pengelolaan sekolah/madrasah yang
ditunjukkan dengan prinsip kemandirian , kemitraan, partisipasi, keterbukaan
dan akuntabilitas;
6. Rencana
kerja tahunan memuat ketentuan yang jelas mengenai :
1) Kesiswaan
;
2) Kurikulum
dan kegiatan pembelajaran;
3) Pendidikdan
tenaga kependidikan serta pengembangannya;
4) Sarana
dan Prasarana;
5) Keuangan
dan pembiayaan ;
6) Budaya
dan lingkungan sekolah ;
7) Peran
serta masyarakat dan kemitraan ; dan
8) Rencana-rencanakerja
lain yang mengarahkepada peningkatan dan pengembangan mutu pendidikan.
b.
Penyusunan
Rencana Kerja Tahunan Sekolah
Rencana
disusun untuk dilaksanakan. Rencana Kerja Sekolah/Madrasah yang telah disusun
kemudian dilaksanakan dengan menggunakan beberapa perangkat penting antara lain
: (1) pedoman sekolah/madrasah, (2) struktur organisasi sekolah/madrasah,
dengan beberapa kententuan dalam Permendiknas No.19 Tahun 2007 sebagai berikut
.
Terkait
dengan pedoman sekolah / madrasah, untuk melaksaanakan program sekolah /
madrasah, setiap satuan pendidikan sekolah/madrasah perlu memiliki Pedoman
Sekolah/Madrasah :
1. Setiap
Sekolah/Madrasah membuat dan memiliki pedoman yang mengatur berbagai aspek
pengelolaan secara tertulis yang mudah dibaca oleh pihak-pihak yang terkait ;
2. Perumusan
pedoman sekolah/madrasah:
1) Mempertimbangkan
visi,misi dan tujuan sekolah/madrasah, dan
2) Ditinjau
dan dirumuskan kembali secara berkala sesuai dengan perkembangan masyarakat
3. Pedoman
pengelolaan sekolah / madrasah meliputi
1) Kurikulum
tingkat satuan pendidikan (KTSP);
2) Kalender
pendidikan akademik ;
3) Struktur
organisasi sekolah sekolah / madrasah;
4) Pengembangan
tugas diantara guru;
5) Pembagian
tugas diantara tenaga kependidikan;
6) Peraturan
akademik;
7) Tata
tertib sekolah / madrasah;
8) Kode
etik sekolah sekolah / madrasah;dan
9) Biaya
operasional sekolah / madrasah;
Berkenaan
dengan perangkat lainnya, yaitu struktur organisasi sekolah/madrasah,
Permendiknas No.19 Tahun 2007 memberikan acuan sebagai berikut.
1. Struktur
organisasisekolah/madrasah berisi tentang sistem penyelenggaraan dan
administrasi yang diuraikan secara jelas dan trasparan;
2. Semua
pimpinan, pendidik, dan tenaga kependidikan mempunyai uraian tugas, wewenang
dan tanggung jawab yang jelas tentang keseluruhan penyelenggaraan dan
administrasi sekolah/madrasah ;
3. Pedoman
yang mengatur tentang struktur organisasi sekolah / madrasah :
1)
Memasukan unsur staf administrasi dengan
wewenang dan tanggung jawab yang jelas untuk menyelenggarakan administrasi
secar optimal;
2)
Evaluasi secara berkala untuk melihat
efektifitas mekanisme kerja pengelolaan sekolah;
3)
Diputuskan oleh kepala sekolah/madrasah
dengan mempertimbangkan pendapat dari komite sekolah / madrasah.
c.
Manajemen
Kesiswaan
Berkenaan
dengan pelaksanaan Rencana Kegiatan Sekolah/Madrasah (RKS/M), Permendiknas
No.19 Tahun 2007 telah memberikan acuan, baik dalam aspek umum maupun dalam
berbagai aspek khusus sebagai berikut :
1. Kegiatan
sekolah / madrasah dilaksanakan oleh penanggung jawab kegiatan yang didasarkan
pada ketersediaan sumberdaya yang ada;
2. Pelaksanaan
kegiatan sekolah / madrasah yang tidak sesuai dengan rencana yang sudah
diterapkan perlu mendapat persetujuan melalui dewan pendidik dan komite sekolah
/ madrasah.
3. Kepala
sekolah / madrasah mempertanggungjawabkan pelaksanaan pengelkolaan bidang
akademik pada rapat dewan pendidik dan bidang non akademik pada rapat komite
sekolah / madrasah. Dalam bentuk laporan pada akhir tahun ajaran yang
disampaikan sebelum penyusunan rencana kerja tahun berikutnya.
Terkaitndengan
pelaksanaan Rencana Kegiatan Sekolah/Madrasah dalam BidangKesiswaan, pemerintah
teelah mengatur beberapa hal sebagai berikut :
1. Sekolah/Madrasah
menyusun dan menetapkan petunjuk pelaksanaan operasional nmengenai proses
penerimaan peserta didik yang meliputi :
a. Kriteria
calon peserta didik
1) SD/MI
berusia sekurangkurangnya 6btahun, pengecualian terhadap usia peserta didik
yang kurang dari 6 tahun dilakukan atas dasar rekomendasi tertulis dan pihak
yang berkopeten, seperti konselor sekolah/madrasah maupun psikolog;
2) SDLB/SMPLB/SMALB
berasal dari peserta didik yang memiliki kelainan fisik,
emosional,intelektual,mental,sensorik,dan/ atau sosial ;
3) SMP/MTs
berasal dan lulusan SD.MI,Paket A atau satuan pendidikan bentuk lainnya yang
sederajat;
4) SMA/SMK/MA/MAK
berasal dan anggota masyarakat telah lulus dari SMP/MTS, Paket B atacu satuan
pendidikan lainnya yang sederajat.
b. Penerimaan
peserta didik sekolah/madrasah dilakukan :
1) Secara
objektif, transparan, dan akuntabel sebagaimana tertuang dalam aturan
sekolah/madrasah ;
2) Tanpa
diskriminasi atas dasar pertimbangan gender,agama,etnis,status sosial,kemampuan
ekonomi bagi SD/MI,SMP/MTs, penerima subsidi dan Pemerintah dan / Pemerintah
Daerah;
3) Berdasar
kriteria hasil ujian nasional bagi SMA/SMK, MA/MAK, dan kriteria tambahan bagi
SMK/MAK;
4) Sesuai
dengan daya tampung sekolah / madrasah
c. Orientasi
peserta didikbaru yang bersifat akademik dan pengenalan lingkungan tanpa
kekerasan dengan pengawasan guru.
2. Sekolah/Madrasah
a. Memberikan
layanan konseling kepada peserta didik;
b. Melaksanakan
kegiatan ekstrakulikuler untuk para peserta didik;
c. Melakukan
pembinaan prestasi unggulan;
d. Melakukan
pelacakan terhadap alumni;
d.
Manajemen
Kurikulum
Berkenaan
denganmanajemen kurikulum, setiap satuan pendidikan sekolah/madrasah harus
mengikuti ketentuan sebagai berikut.
1. Sekolah/madrasah
menyusun KTSP.
2. Penyusunan
KTSP memperhatikan standarkompetensi lulusan, standar isi, dan peraturan
pelaksanaannya.
3. KTSP
dikembangkan sesuai dengan kondisi sekolah/madrasah, potensi atau karakteristik
daerah, sosial budaya masyarakat setempat dan peserta didik.
4. Kepala
sekolah/madrasah bertanggungjawab atas tersusunnya KTSP.
5. Wakil
Kepala SMP/MTs dan wakil kepala SMA/SMK/MA/MAK bidang kurikulum bertanggung
jawab atas pelaksanaan penyusunan KTSP
6. Setiap
guru bertanggungjawab menyusun silabus mata pelajaran yang diampunya sesuai
dengan standar isi, standar kompetensi lulusan, dan panduan penyusunan KTSP.
7. Dalam
penyusunan silabus, guru dapat bekerja sama dengan Kelompok Kerja Guru (KKG),
Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP), Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP),
atau Perguruan Tinggi.
8. Penyusunan
KTSP tingkat SD dan SMP dikoordinasi, disupervisi, dan difasilitasi oleh Dinas
Pendidikan Kabupaten/Kota sedangkan SDLB,SMPLB,SMALB,SMA dan SMK oleh Dinas
Pendidikan Provinsi yang bertanggungjawab dibidang pendidikan. Khusus untuk
penyusunan KTSP Pendidikan Agama (PA) tingkat SD dan SMP dikoordinasi,
disupervisi, dan difasilitasi oleh Kantor Departemen Agama
Kabupaten/Kota,sedangkan untuk SDLB,SMPLB,SMALB,SMA,dan SMK oleh Kantor Wilayah
Departemen Agama;
9. Penyusunan
KTSP tingkat MI dan MTs dikoordinasi, disupervisi, dan difasilitasi oleh Kantor
Departemen Agama Kabupaten/Kota sedangkan MA dan MAK oleh Kantor Wilayah
Departemen Agama Provinsi.
Berkenaan
dengan Kalender Pendidikan yang digunakan, Permendiknas No.19 Tahun 2007
mengatur sebagai berikut.
1. Sekolah/madrasah
menyusun kalender pendidikan/akademik yang meliputi jadwal pembelajaran,
ulangan,ujian,kegiatan ekstrakulikuler dan kulikuler, dan hari libur.
2. Penyusunan
kalender pendidikan/akademik :
a. Didasarkan
pada standar isi;
b. Berisi
mengenai pelaksanaan aktivitas sekolah/madrasah selama satu tahun dan dirinci
secara semesteran,bulanan dan mingguan;
c. Diputuskan
dalam rapat dewan pendidik dan ditetapkan oleh kepala sekolah/madrasah.
3. Sekolah/madrasah
menyusun jadwal penyusunan KTSP.
4. Sekolah/madrasah
menyusun mata pelajaran yang dijadwalkan pada semester gasal, dan semester
genap.
DAFTAR PUSTAKA
Suparlan.
2013. MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH dari
Teori sampai dengan
Praktik.PT
Bumi Aksara: Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar