Blogger Widgets

Senin, 12 Oktober 2015

MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH

A.    Pengertian Manajemen Berbasis Sekolah
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) merupakan padanan kata dari School-based Management (SBM). Dalam hal ini Bank Dunia (The World Bank) telah memberikan pengertian bahwa “ School-based Management is the decentralization of levels of authority to the schoollevel. Responsibility and decision-making over school operations is transferred to principals, teachers, parents, sometimes students, other school community members. The school-level actors, however, have to conform to, or operate, within a set of centallydetermined policies. (“ MBS adalah desentralisasi level otoritas penyelenggaraan sekolah kepada level sekolah. Tanggung Jawab dan pengambilan keputusan terhadap pelaksanaan atau penyelenggaraan sekolah telah diserahkan kepala sekolah, guru – guru, para orang tua siswa, kadang-kadang peserta didik atau siswa,dan anggota komunitas sekolah yang lainnya”)
Dalam kesempatan lain, Bank Dunia (The World Bank) dalam kalimat yang sedikit berbeda, tetapi hakikatnya sama. “ School-based management (SMB) is a strategi to improve education by transferring significant decision-making authority from state and district offices to individual schools. SMB provides principals, teachers,students, and parents greater control over the education process by giving them responsibility for decisions about the budget, personnel, and the curriculum. Through the involvement of teachers, parents, and other community members in these key decisions, SBM can create more effective learning environments for children”. (“Manajemen Berbasis Sekolah adalah satu strategi untuk meningkatkan seolah dengan menyerahkan otoritas pengambilan keputusan secara signifikan dari negara dan kabupaten kepadasatuan pendidikan sekolah secara individual. MBS menyediakan para kepala sekolah, guru-guru, para siswa, dan para orang tua siswa, untuk melakukan pengawasan secara lebih besar terhadap proses pendidikan dengan memberikan tanggung jawab untuk untuk pengambilan tentang anggaran, pernonel, dan kurikulum”).
Berdasarkan pengertian tersebut, penerapan MBS di satuan pendidikan sekolah sesungguhnya terkait dengan bagaimana proses penentukan kebijakan sekolah harus ditetapkan oleh sekolah. Dengan konsep MBS, proses penentuan kebijakan harus ditetapkan pleh semua pemangku kepentingan (stakeholders) pendidikan di sekolah. Inilah sesungguhnya yang dikenal sebagai indikator atau karakteristik utama MBS. Jika sebelumnya, kepala sekolah menentukan semua kebijakan sekolah sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam menentukan kebijakan sekolah, maka dengan MBS kepala sekolah harus menerapkan kepemimpinan partisipatif, yaitu kepemimpinan dengan prinsip memberikan pelibatan secara luas kepada semua pemangku kepentingan yang terkait dengan penyelenggaraan pendidikan di sekolah secara demokratis. Otokrasi (kekuasaan diri-sendiri) kepala sekolah harus berubah menjadidemokrasi (kekuasaan rakyat) atau keterlibatan semua pihak yang terkait dengan penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Akibatnya, keberhasilanatau kegagalan dari pelaksanaan kebijakan tersebut nanti akan menjadi keberhasilan atau pun kegagalan bersama.
Memang, kepala sekolah harus menjadi pemimpin dari keseluruhan proses penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Kepala sekolah memang juga harus menjalankan kepemimpinan yang kuat (strong principal leader-ship), tetapi kepemimpinan tersebut harus dilaksanakan secara demokratis dan parsipatif. Ada beberapa tingkatan dalam pelaksanaan MBS di sekolah, seperti kewenangan hanya dari kepala sekolah kepada para guru saja. Tingkatan berikutnya, penyerahan kewenangan manajemen telah diserahkan sampai kepada siswa dan partisipasi orang tua siswa melalui Komite Sekolah, bahkan juga kepada masyarakat. Bidang kewenangan apa sayabyang diserahkan? Beberapa urusan yang telah diserahkan kepada semua pemangku kepentingan sekolah antara lain ;
1.      Penyusunan RAPBS menjadi APBS;
2.      Penyusunan Rencana Pengembangan Sekolah (RPS); dan
3.      Penyusunan Kurikulum Tingkatan Satuan Pendidikan (KTSP)
Sementara itu, urusan – urusan penyelenggaraan pendidikan, seperti pengangkatan guru dan tenaga administrasi sekolah, penyampaian laporan hasil belajar siswa, masih lebih banyak diberikan kepada pihak kepala sekolah dan para pendidik di sekolah.
B.     Sejarah Kelahiran MBS
Negara Inggris Raya, New Zealand, beberapa negara bagian di Australia, dan Ameria Serikat adalah negara yang pertama kali di tahun 1970-an telah menerapkan kebijakan MBS dalam agenda pembangunan pendidikannya. Pada tahun 1990-an, kebijakan MBS kemudian diadopsi di negara-negara Asia,termasuk wilayah Hongkong (China), Sri Langka, Korea, Nepal, dan dunia Arab. Daerah Eropa Timur, revolusi politik pada tahun 1990-an telah menimbulkan perubahan dalam kebijakan pendidikan, yang kemudian merambat ke daerah Afrika, kawasan Latin Amerika, dan negara-negara berkembang lainnya di seluruh dunia.
Kebanyakan proyek MBS yang dibiayai oleh Bank Dunia juga telah dikembangkan dan dilaksanakan di AmerikaLatin dan negara-negara di Asia Selatan, seperti Argentina, Bangladesh, Guatemala, Honduras, India, Meksiko dan Sri Langka. Ada dua proyek MBS yang juga didukung oleh Bank Dunia di negara-negara Eropa dan Asia Tengah antara lain do Mekedonia, Serbia, dan Montenegro, dan di negara-negara Asia Timur dan Asia Pasifik (Filipina), negara-negara Timur Tengah dan Afrika Utara (Lebanon), serta negara Afrika Sub-Sahara(Lesotho). Proyek dan program MBS yang lain juga telah diperkenalkan di Madagaskar,Gambia, dan Sinegal.
Pengembangan dan pelaksanaanMBS akhirnya juga sampai ke Indonesia melalui beberapa program dan kegiatan, baik yang dibiayai oleh dana dari dalam negeri maupun dari luar negeri. Misalnya, program Managing BasicEducation (MBE) dari USAids, program WholeSchool Development (WSD) dan Whole District Develompment (WDD) yang dibiayai olehAustralia-Indonesia Basic Education Program (AIBEP). Materi utama yang diberikan sebagai pelatih capacity building untuk semua pemangku kepentingan di Indonesia melalui program tersebut, seperti MBS, selain Pembelajaran Aktif, Kreatif dan Menyenangkan (PAKEM), yang kini menjadi PembelajaranAktif, Inovatif,Kreatif,Efektif, dan Menyenangkan (PAIKEM) dan Peran Serta Masyarakat (PSM).
Kelahiran MBS pada awalnya menggunakan beberapa nama yang berbeda-beda, yaitu tat kelola sekolah (school-based governane), manajemen mandiri sekolah (school self-management), dan bahkan jugabdikenal dengan School site management atau manajemen yang bermarkas disekolah. Istilah-istilah tersebut memang mempunyai kepekanan pengertian yang sedikit berbeda. Namun, nama-nama tersebut memiliki roh yang sama, yakni sekolah diharapkan dapat menjadi lebih otonom dalam pelaksanaan manajemen sekolahnya, khususnya dalam penggunaanya 3M-nya, yakni man,money, dan material. Penyerahan otonomi dalam pengelolaan sekolah ini diberikan untuk peningkatan mutu pendidikan. Oleh karena itu, maka Direktorar Pembinaan SMP menamakan MBS sebagai Manajemen Peningkatan Mitu Berbasis Sekolah (MPMBS).
C.    Mengapa MBS itu Penting?
            Ada dua alasan penting untuk dapat menjelaskan mengapa MBS penting untuk diterapkan dalam sistem pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan di Indonesia.
Pertama, MBS dapat mengingkatkan akuntabilitas kepala sekolah dan guru terhadap peserta didik, orang tua siswa, dan masyarakat. Mekanisme akuntabilitas yang semula masih harus menunggu adanya laporan tertulis (kalau ada) dari kepala sekolahatau para guru, maka dengan penerapan MBS sejak awal apa yang harus dilaporkan itu telah dapat diketahui secara lebih awal. Misalnya, sebelum MBS, belum banyak pemangku kepentingan yang mengetahui beberapa besar anggaran yang tertuang di dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (RAPBS). Namun, dengan penerapan MBS, pada awal tahun pelajaran baru, semuanya telah diketahui RAPBS, yang memegang harus dipajang di papan pengumuman sekolah.
Kedua, MBS memberikan keterbukaan kepada semua pemangku kepentingan dalam memberikan saran dan masukan untuk penentukan kebijakan-kebijakan penting yang diperlukan oleh sekolah, Dengan demikian, aspirasidari semua pemangku kepentingan sangat dihargai untuk menjadi bagian penting dalam penentukan kebijakan yang akan diambil oleh lembaga pendidikan sekolah.
D.    Dampak Penerapan MBS
Berdasarkan hasil evaluasi pelaksanaan MBS di Nikaragua, ditemukan bahwa 100% sumber daya sekolah telah dialokasikan untuk kepentingan sekolah. Untuk ini Komite Sekolah-Komote Sekolah di negara-negara Amerika Latin merasa puas. Dua dampak penting penerapan MBS adalah sebagai berikut :
Pertama, penerapan MBS mempunyai kontribusi yang lebih baik dalam menaikan hasil belajar siswa (King and Ozler, 1998, Ozler,2001). Kedua, penerapan MBS di Meksiko ternyata juga telah meningkatkan peran serta sekolah-sekolah di daerah pedesaan dan bahkan di sekolah-sekolah yang para siswanya berasal dari suku asli (indegenous schools). Ketiga, beberapa hasil evaluasi terhadap penerapan MBS pada khususnya, dan penerapan desentralisasi pendidikan di Ameria Serikat telah dapat menurunkan angka putus sekolah (DO), meskipun secara langsung tidak mempunyai dampak dalam nilai hasil belajar.
E.     Beberapa Hasil Penelitian tentang MBS
Terkait dengan MBS, pertanyaan yang sering diajukan adalag tentang hasil penelitian tentang MBS. Apa saja temuan hasil penelitian tentang penerapan MBS? Benarkah penerapan MBS memang benar-benar dapat mendogkrak mutu pendidikan? Sebagaian besar berisi tulisan ini disarikan dari artikelbertajuk “Improving The Quality of Education Through School-Based Management : Learning  From International Experiences”, oleh Anton De Grouwe dalam jurnal International Review of Education . Tentu saja, tulisan ini juga diberi bumbu-bumbu contoh yang terjadi di negeri sendiri.
Leithwood dan Menzies (1998b) menemukan adanya empat model MBS dari hasil Penelitiannya, sebagai berikut.
1.      Kontrol administratif, kepala sekolah dominan sebagai representasi daei administrasi pendidikan.
2.      Kontrol profesional, pendidik menerima otoritas.
3.      Kontrol masyarakat, kelompok masyarakat dan orang tua peserta didik, melalui Komite Sekolah, terlibat dalam kegiatan sekolah.
4.      Kontrol secara seimbang, orang tua siswa dan kelompok profesional (kepala sekolah dan pendidik) saling bekerja sama secara seimbang.
Keempat model MBS tersebut, sebenarnya merupakan berbagai varian yang muncul dalam proses pemberian otonomi. Pada awal pemberian otonomi, model yang pertama (kepala sekolah dominan) telah lahir dengan sosok sebagai raja-raja kecil yang berkuasa di berbagai satuan organisasi, termasuk kabupaten/kota sampai dengan satuan pendidikan sekolah. Model kedua, para guru telah dilibatkan dalam manajemen sekolah. Model ketiga, masyarakat dan orang tua siswa telah dilibatkan dalam kegiatan sekolah. Model keempat adalahmodel ideal yang diharapkan.Model keempat ini merupakan model hubungan sinergis antara keluarga, sekolah, dan masyarakat, yang diharapkan dapat mendongkrak upaya peningkatan mutu pendidikan.
Dalin (1994), Carron dan Chau (1996) menemukan dalam penelitiannya bahwa kualitas pendidikan lebih ditentukan oleh cara sekolah mengelola sumberdaya ketimbang oleh ketersediaan sumberdayanya sendiri. Sumber daya yang ada di sekolah boleh jadi akan menjadi malapetaka bagi semua pihak jika kepala sekolah tidak dapat mengelolanyaa secara trasparan. Faktor lain yang memengaruhi kualitas pendidikan adala ah kemampuan kepala sekolah dalam meningkatkan proses belajar mengajar. Debgan demikian, kedua faktor tersebut (ketersediaan sumber daya dan proses belajar mengajar)harus dikelola secara profesional oleh pihak sekolah.
Penerapan MBS disekolah banyak negara berkembang, walaupun sering tidak memperoleh dukungan yang memadahi dari pihak penguasa lokal maupun dimasyarakat. Pemerintah daerah yang lemag tidak dapat diharapkan untuk mendukung pelaksanaan prinsip manajemen modern (demokratis,transparan,dan akuntabel). Pelaksanaan MBS di sekolah, seperti mengelola dana BOS, pihak kepala sekolah dan komite sekolah masih juga memperoleh tekanan dari berbagai pihak. Campur tangan pemerintah daerah pada umumnya bukan dalam bentuk supervisi yang positif, justru berupa intervensi negatif. Agaknya, tidak sedikit kepala sekolah yang dikejar-kejar "wartawan amplop" yang sering' nongkrong ' disekolah untuk menunggu datangnya kepala sekolah. Itulah sebabnya penerapan MBS disekolah pada sisi yang lain menjadi ladang yang subur untuk tumbuhnya KKN di level birokrasi yang paling bawah ini. Akibatnya, ada kepala sekolah yang tidak mau pekerjaan manajemen yang berat ini, karena alasan beban berat sebagai pemimpin instruksional (instructional leader) atau pemimpin dalam bidang kependidikan (pedagogical leader) menjadi amburadul, lantaran disibukkan oleh pekerjaan teknis administratif dan manajerial yang harus dituntaskan setiap hari. Dengan terpaksa harus belanja komputer, buku pelajaran, alat tulis kantor (ATK), karena tidak memiliki staf adninistrasi sebagai mana di SMP dan SMA. Akibatnya, pelaksanaan MBS disekolah menjadi dulema (Dempster, 2000). Bahkan penerapan MBS boleh jadi menimbulkan stres berat bagi kepala sekolah (Whitaker,2003 dan William,2003).
Selain itu, penerapan MBS ternyata juga sarat dengab masalah bias gender (Limerick dan Anderson, 1999). Hal ini karena banyak kepala sekolah wanita yang merasakan keberatan untuk melaksanakan beban berat mengurus bidang administrasi dan manajemen tersebut. Seseorang kepala sekolah di SMA pernah mendatangi penulis dan menjelaskan bahwa sekolahnya terpaksa menolak bantuan block grant dari pemerintah. Alasannya, karena urusan teknis edukatif di sekolahnya menurutnya menjadi tidak terurus dengan baik lagi dan mendapat tambahan untuk mengurus dana bantuan block grant tersebut.
Sekali lagi, penerapan MBS juga mengalami masalah, khususnya di daerah yang pedesaan atau daerah yang terpencil (remote areas). Banyak orang tua siswa dan masyarakat di pedesaan yang tidak mau terlibat dalam kegiatan Komite Sekolah.Masalahnya ternyata bukan hanya karena masalah kapasitasnya yang rendah, tetapi lebih karena budaya yang hanya menyerahkan bulat-bulat urusan pendidikan kepada pihak sekolah. Bahkan, dalam beberapa kasus, penerapan MBS lebih sebagai instrumen politik untuk membangun kekuasaan. Dengan MBS, seakan-akan pemerintah telah memberikan otonomi kepala sekolah, padahal sesungguhnya sekolah dan masyarakat belum siap untuk menerima semua itu. Hal yang sama pun terjadi di negara maju seperti di negara bagian Australia. Respresentasi dan masyarakat kelompok minoritas dinilai kecil dalam komposisi kepengurusan Komite Sekolah (Ferguson, 1998).
Dampak negatif yang sama terjadi dalam prlaksanaan desentralisasi di Afrika Barat (Lugaz dan De Grouwe), dimana penerapan MBS di sekolah justru dapat menyebabkan meningkatnya monopoli kekuasaan di level pemerintah daerah. Orang tua dan pendidik hampit tidak punya pengetahuan untuk mengontrol yang telah diterima oleh sekolah. Tidak adanya trasparansi dalam penggunaan uang sekolah dari orang tua siswa tersebut sering menimbulkan kesan kesan terjadinya monopoli kekuasaan pada level pemerintah daerah.
Hasil penelitian tentang dampak penerapan MBS terhadap mutu pendidikan ternyata sangat bervariasi. Ada penelitian yang menyatakan negatif. Ada yang kosong-kosong. Adapula yang positif penelitianyang dilakukan oleh Leithwood dan Menzies (1998a) dengan 83 studi empirikal tentang MBS menyatakan bahwa penerapan MBS terhadap mutu pendidikan ternyata negatif, "there is virtually no from". Fullan (1993) juga menyatakan kesimpulan yang kurang lebih sama. "There is also no doubt that evidence of a direct cause-and-effect relationship between self-management and improved outcomes is minimal". Tidak diragukan lagi bahwa hubungan sebab akibat hubungan anatara MBS dengan peningkatan mutu hasil pendidikan adalah minimal. Hal ini dapat dimengerti karena penerapan MBS tidak secara langsung terkait dengan kejadian di ruang kelas.
Sebaliknya, Gaziel (1998) menyimpulkan hasil penelitian disekolah Esrael bahwa "greater school autonomy has a positive impact on teacher motivation and commitment on the school ' s achievement". (Pemberian otonomi yang lebih besar keoada sekolah telah mempunyai dampak positif terhadap motivasi dan komitmen guru dan terhadap kebersihan sekolah). HAsil penelitian William (1997) di Kerajaan Inggris dan New Zealand menunjukan indikasi bahwa" the increase decision- making power of principals has allowwed them to introduce innovative programs and practices".(Peningkatan kemampuan kepala sekolah dalam pengambilan keputusan telah membuat memperkenalkan program dan praktik (penyelenggaraan pendidikan) yang inovatif ). Geoff Spring, arsitek reformasi di Australia Selatan dan Victoria menyatakan bahwa "school-based management has led to higher student achievement". Hal yang sejalan juga dilaporkan oleh De Grouwe (1999). Hal yang menggembirakan juga dinyatakan oleh King dan Ozler (1998) menyatakan bahwa "endhanced community and parental involvement in EDUCO schools has improved students ' language skills and diminished absenteeism". Jemenes danSawada (1998) menyimpulkan bahwa pelibatan masyarakat dan orang tua siswa mempunyai dampak jangka panjang dalam peningkatan hasil belajar. Misalnya,Dimmock (1993) dan Caldwell (1994) menemukan bahwa MBS memiliki 5 keunggulan sebagai berikut.
1.      MBS adalah lebih demokratis.MBS memungkinkan guru dan orang tua siswa dapat mengambil keputusan tentang pendidikan dengan cara-cara yang lebih demokratis dari pada hanya sekedar memberikan kewenangan kepada orang-orang yang terbatas atau satu kelompok orang pada level pusat.
2.      MBS adalah lebih relevan.
3.      MBS adalah tidak birokratis.
4.      MBS memungkinkan untuk lebih memiliki akuntabilitas.
5.      MBS memungkinkan untuk dapat memobilisasi sumber daya secara lebih besar.

F.     Strategi Peningkatan Mutu Pendidikan Melalui Penerapan MBS
Konsep MBS merupakan mebijakan baru yang sejalan dengan paradigma desentraliasi dalam pemerintahan. Strategi apa yang diharapkan agar penerapan  MBS dapat bena-benar meningkatkan mutu pendidikan.
Pertama, salah satu strategi adalah menciptakan prakondisi yang kondusif untuk dapat menerapkan MBS, yakni peningkatan kapasitas dan komitmen seluruh warga sekolah, termasuk masyarakat dan orang tua siswa. Uapaya untuk memperkuat peran kepala sekolah harus menjadi kebijakan yang mengiringi penerapan kebijakan MBS."An essential point is that schools and teacher will need capacity building if school-based management is to work". Demikian De Grouwe menegaskan.
Kedua, membangun budaya sekolah (school culture) yang demokratis, trasparan, dan akuntabel. Termasuk membiasakan sekolah untuk membuat laporan pertanggung jawaban kepada masyarakat. Model memajangkan RAPBS dipapan penguman sekolah yang dilakukan oleh Managing Basic Education (MBE) merupakan tahap awal yang sangat positif. Juga membuat laporan secara insidental berupa booklet, leaflet, atau poster tentang rencana kegiatan sekolah. Alangkah serasinya jika kepala sekolah dan ketua Komite sekolah dapat tampil bersama dalam media tersebut.
Ketiga, pemerintah pusat lebih memainkan peran monitoring dan evaluasi. Dengan kata lain , pemerintah pusat dan pemerintah daerah perlu melakukan kegiatan bersama dalam rangka monitoring dan evaluasi pelaksanaan MBS di sekolah, termasuk pelaksanaan block grant yang diterima sekolah.
Keempat, mengembangkan model program pemberdayaan sekolah. Bukan hanya sekedar melakukan pelatihan MBS , yang lebih banyak dipenuhi dengan pemberian informasi kepada sekolah. Model pemberdayaan sekolah berupa pendampingan atau fasilitas dinilai lebih memberikan hasil yang lebih nyata dibandingkan dengan pola-pola lama berupa penataran MBS.
Manajemen berbasis sekolah telah banyak diterapkan disekolah, bukan hanya dinegara maju, tetapi juga telah menyebar di negara berkembang. Penerapan MBS telah banyak menjanjikan untuk peningkatan mutu pendidikan. Penerapan MBS akan berhasil jika diberikan prakondisi  dengan membangun kapasitas dan komitmen sekolah, termasuk semua pemangku kepentingan, yang memiliki tanggung jawab bersama terhadap upaya peningkatan mutu pendidikan. Keberbasilan sekolah dalam menerapkan MBS dipengaruhi oleh kepedulian pemerintah pusat dan daerah untuk mendorong dan memberikan kesempatan sekolah menerapkan MBS di sekolah.
G.    Keuntungan penerapan MBS
Menurut Asosiasi Administor Sekolah Amerika atau The American Association of School Administrator (aasa), Asosiasi Nasional Kepala Sekolah SD atau The National Association of Elementary School Principals (NAESP), Asosiasi Nasional Kerja SMP atau The National Association of Secondary School Principals (NASSP), dan sumber-sumber lainnya, menyatakan bahwa MBS dapat :
1.      Membuat para individu yang kompeten di sekolah untuk membuat keputusan yang dapat meningkatkan pembelajaran;
2.      Memberikan hak bersuara kepada seluruh komunitas sekolah dalam pengambilN keputusan kunci;
3.      Menekankan akuntabilitas untuk pengambilan keputusan;
4.      Mendorong kreativitas yang lebih besar dalam perancangan program;
5.      Mengarahkan kembali sumber daya untuk mendukung pencapaian tuhuan yang telah dikembangkan di masing-masing sekolah;
6.      Mendorong anggaran yang realistik agar orang tua siswa dan guru menjadi lebih sadar tentang status keuangan sekolah, keterbatasan pengeluaran, dan biaya-biaya yang diperlukan untuk pelaksanaan program-program ; dan
7.      Meningkatkan semangat para guru dan para petugas lainnya pada semu level di sekolah.
Penerapan MBS pada satuan pendidikan sekolah merupakan indikator kunci pelaksanaan desentralisasi pendidikan atau otonomi pendidikan pada level akar rumput. Jika dalam desentralisasi atau otonomi urusan pemerintah dalam bidang pendidikan telah diserahkan kepada pemerintah daerah kabupaten/kota maka pada level yang paling bawah, penerapan desentralisasi atau otonomi pendidikan tersebut telah diserahkan kepada satuan pendidikan sekolah melalui penerapan MBS. Dengan penerapan MBS, masyarakat peduli pendidikan terlibat dalam proses perencanaan, pelaksanaan,pemantauan, dan evaluasi dalam pelaksanaan program pendidikan. Melalui MBS,semu unsur pemangku kepentingan (stakeholders) dalam bidang pendidikan dapat meningkatkan sinergi untuk mencapai tujuan pendidikan yng telah diseoakati bersama, yakni pendidikan yang merata dan bermutu.
H.    Penerapan MBS
a.    Penyusunan Rencana pengembangan Sekolah (RPS)
Untuk dapat melaksanakan fungsi-fungsi manajeman dengan baik, setiap satuan pendidikan sekolah/madrasah harus merumuskan dan menetapkan visi satuan pendidikan, dan kemudian mengembangkan visi satuan pendidikan sekoalh tersebut menjadi misi dan tujuan sekolah. Rumusan visi,misi dan tujuan sekoalh tertuang di dalam Rencana Pengembangan Sekoalah (RPS).
Berkenaan dengan visi sekoah, Permendiknas NO. 17 Tahun 2007 menjelaskan sebagai berikut :
1.      Setiap sekolah/madrasah harus merumuskan dan menetapkan visi serta mengembangkannya menjadi misi dan tujuan sekolah.
2.      Visi sekolah/madrasah tersebut :
1)   Dijadikan sebagai cita-cita bersama warga sekolah/ madrasah dan segenap pihak yang berkepentingan pada masa yang akan datang ;
2)   Mampu memberikan inspirasi, motivasi dan kekuatan pada warga sekolah/madrasah dan segenap pihak yang berkepentingan;
3)   Dirumuskan berdasar masukan dari warga sekolah/madrasah dan pihak-pihak yang berkepentingan , selaras dengan visi institusi di atasnya serta visi pendidikan nasional ;
4)   Diputuskan oleh rapat dewan oendidik yang dipimpin oleh kepala sekolah/madrasah dengan memperhatikan masukan komite sekolah/madrasah;
5)   Disosialisasikan kepada warga sekolah/madrasah dan segenap pihak yang berkepentingan
6)   Ditinjau dan dirumuskan kembali secara berkala sesuai dengan perkembangan dan tantangan di masyarakat.
Sementara tentang misi sekolah/madrasah dijelaskan sebagai berikut :
1.      Sekolah/Madrasah merumuskan dan menetapkan misi serta mengembangkannya.
2.      Misi sekolah/madrasah :
1)      Memberikan arah dalam mewujudkan visi sekolah/madrasah sesuai dengan tujuan pendidikan nasional ;
2)      Merupakan tujuan yang akan dicapai dalam kurun waktu tertentu;
3)      Menjadi dasar program sekolah/madrasah;
4)      Menekankan pada kualitas layanan peserta didik dan mutu lulusan yang diharapkan oleh sekolah/madrasah ;
5)      Memuat pertanyaanumum dan khusus yang berkaitan dengan program sekolah/madrasah;
6)      Memberikan keluwesan dan rusng gerak pengembangan kegiatan satuan-satuan unit sekolah/madrasah yang terlibat;
7)      Dirumuskan berdasarkan masukan dari segenap pihak yang berkepentingan termasuk komite sekolah/madrasah dan diputuska oleh rapat dewan pendidik yang dipimpin oleh kepala sekolah/madrasah;
8)      Disosialisasikan kepada warga sekolah/madrasah dan segenap pihak yang berkepentingan ;
9)      Ditinjau dirumusan kembali secara berkala sesuai denganperkembangan dan tantangandi masyarakat.
Berkenaan dengan tujuan Sekolah/Madrasah dijelaskan sebagai berikut :
1.      Sekolah /Madrasah merumuskan dan menetapkan tujuan serta mengembangkannya.
2.      Tujuan sekolah/madrasah :
1)        Mengambarkan tingkat kualitas yang perlu dicapai dalam jangka menengah (empat tahunan);
2)        Mengacu pada visi,misi dan tujuan pendidikan nasional serta relevan dengan kebutuhan masyarakat;
3)        Mengacu pada standar kompetensi lulusan yang sudah ditetapkan oleh sekolah/madrasah dan Pemerintah;
4)        Mengakomodasika masukan dari berbagai pihak yangberkepentingan termasuk komite sekolah/madrasah dan diputuskan oleh rapat dewan pendidik yang dipimpin oleh kepala sekolah/madrasah;
5)        Disosialisasikan kepada warga sekolah/madrasah dan segenap pihak yang berkepentingan.
Yang terakhir, satuan pendidikan sekolah/madrasah harus memiliki Rencana Kerja Sekolah/Madrasah (RKS/M) yang dijelaskan dalam Permendiknas Nomer 19 Tahun 2007 sebagai berikut:
1.      Rencana kerja jangka menengah yang menggambarkan tujuan yang akan dicapai dalam kurun waktu empat tahun yang berkaitan dengan mutu lulusan yang ingin dicapai dan perbaikan komponen yang mendukung peningkatan mutu lulusan;
2.      Rencana kerja tahunan yang dinyatakan dalam Rencana Kegiatan dan Anggaran Sekolah/Madrasah (RKAS-M) dilaksanakan berdasarkan rencana jangka menengah ;
3.      Rencana kerja jangka menengah dan tahunan sekolah/madrasah disetujui dalam rapat dewan pendidik yang dipimpin oleh kepala sekolah, setelah diperhatikan pertimbangan dari komite sekolah/madrasah dan disahkan berlakunya oleh dinas pendidikan kabupaten/kota. Pada sekolah/madrasah swasta rencana kerja ini disahkan berlakunya oleh penyelenggara sekolah/madrasah ; dituangkan dalam dokumen yang mudah dibaca oleh pihak-pihak yang terkait ;
4.      Rencana kerja empat tahun dan tahunan disesuaikan dengan persetujuan rapat dewan pendidik dan pertimbangan komite sekolah/madrasah ;
5.      Rencana kerja tahunan dijadikan dasar dalm pengelolaan sekolah/madrasah yang ditunjukkan dengan prinsip kemandirian , kemitraan, partisipasi, keterbukaan dan akuntabilitas;
6.      Rencana kerja tahunan memuat ketentuan yang jelas mengenai :
1)   Kesiswaan ;
2)   Kurikulum dan kegiatan pembelajaran;
3)   Pendidikdan tenaga kependidikan serta pengembangannya;
4)   Sarana dan Prasarana;
5)   Keuangan dan pembiayaan ;
6)   Budaya dan lingkungan sekolah ;
7)   Peran serta masyarakat dan kemitraan ; dan
8)   Rencana-rencanakerja lain yang mengarahkepada peningkatan dan pengembangan mutu pendidikan.

b.   Penyusunan Rencana Kerja Tahunan Sekolah
Rencana disusun untuk dilaksanakan. Rencana Kerja Sekolah/Madrasah yang telah disusun kemudian dilaksanakan dengan menggunakan beberapa perangkat penting antara lain : (1) pedoman sekolah/madrasah, (2) struktur organisasi sekolah/madrasah, dengan beberapa kententuan dalam Permendiknas No.19 Tahun 2007 sebagai berikut .
Terkait dengan pedoman sekolah / madrasah, untuk melaksaanakan program sekolah / madrasah, setiap satuan pendidikan sekolah/madrasah perlu memiliki Pedoman Sekolah/Madrasah :
1.      Setiap Sekolah/Madrasah membuat dan memiliki pedoman yang mengatur berbagai aspek pengelolaan secara tertulis yang mudah dibaca oleh pihak-pihak yang terkait ;
2.      Perumusan pedoman sekolah/madrasah:
1)   Mempertimbangkan visi,misi dan tujuan sekolah/madrasah, dan
2)   Ditinjau dan dirumuskan kembali secara berkala sesuai dengan perkembangan masyarakat
3.      Pedoman pengelolaan sekolah / madrasah meliputi
1)   Kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP);
2)   Kalender pendidikan akademik ;
3)   Struktur organisasi sekolah sekolah / madrasah;
4)   Pengembangan tugas diantara guru;
5)   Pembagian tugas diantara tenaga kependidikan;
6)   Peraturan akademik;
7)   Tata tertib sekolah / madrasah;
8)   Kode etik sekolah sekolah / madrasah;dan
9)   Biaya operasional sekolah / madrasah;
Berkenaan dengan perangkat lainnya, yaitu struktur organisasi sekolah/madrasah, Permendiknas No.19 Tahun 2007 memberikan acuan sebagai berikut.
1.      Struktur organisasisekolah/madrasah berisi tentang sistem penyelenggaraan dan administrasi yang diuraikan secara jelas dan trasparan;
2.      Semua pimpinan, pendidik, dan tenaga kependidikan mempunyai uraian tugas, wewenang dan tanggung jawab yang jelas tentang keseluruhan penyelenggaraan dan administrasi sekolah/madrasah ;
3.      Pedoman yang mengatur tentang struktur organisasi sekolah / madrasah :
1)        Memasukan unsur staf administrasi dengan wewenang dan tanggung jawab yang jelas untuk menyelenggarakan administrasi secar optimal;
2)        Evaluasi secara berkala untuk melihat efektifitas mekanisme kerja pengelolaan sekolah;
3)        Diputuskan oleh kepala sekolah/madrasah dengan mempertimbangkan pendapat dari komite sekolah / madrasah.

c.       Manajemen Kesiswaan
Berkenaan dengan pelaksanaan Rencana Kegiatan Sekolah/Madrasah (RKS/M), Permendiknas No.19 Tahun 2007 telah memberikan acuan, baik dalam aspek umum maupun dalam berbagai aspek khusus sebagai berikut :
1.      Kegiatan sekolah / madrasah dilaksanakan oleh penanggung jawab kegiatan yang didasarkan pada ketersediaan sumberdaya yang ada;
2.      Pelaksanaan kegiatan sekolah / madrasah yang tidak sesuai dengan rencana yang sudah diterapkan perlu mendapat persetujuan melalui dewan pendidik dan komite sekolah / madrasah.
3.      Kepala sekolah / madrasah mempertanggungjawabkan pelaksanaan pengelkolaan bidang akademik pada rapat dewan pendidik dan bidang non akademik pada rapat komite sekolah / madrasah. Dalam bentuk laporan pada akhir tahun ajaran yang disampaikan sebelum penyusunan rencana kerja tahun berikutnya.
Terkaitndengan pelaksanaan Rencana Kegiatan Sekolah/Madrasah dalam BidangKesiswaan, pemerintah teelah mengatur beberapa hal sebagai berikut :
1.      Sekolah/Madrasah menyusun dan menetapkan petunjuk pelaksanaan operasional nmengenai proses penerimaan peserta didik yang meliputi :
a.       Kriteria calon peserta didik
1)      SD/MI berusia sekurangkurangnya 6btahun, pengecualian terhadap usia peserta didik yang kurang dari 6 tahun dilakukan atas dasar rekomendasi tertulis dan pihak yang berkopeten, seperti konselor sekolah/madrasah maupun psikolog;
2)      SDLB/SMPLB/SMALB berasal dari peserta didik yang memiliki kelainan fisik, emosional,intelektual,mental,sensorik,dan/ atau sosial ;
3)      SMP/MTs berasal dan lulusan SD.MI,Paket A atau satuan pendidikan bentuk lainnya yang sederajat;
4)      SMA/SMK/MA/MAK berasal dan anggota masyarakat telah lulus dari SMP/MTS, Paket B atacu satuan pendidikan lainnya yang sederajat.
b.      Penerimaan peserta didik sekolah/madrasah dilakukan :
1)      Secara objektif, transparan, dan akuntabel sebagaimana tertuang dalam aturan sekolah/madrasah ;
2)      Tanpa diskriminasi atas dasar pertimbangan gender,agama,etnis,status sosial,kemampuan ekonomi bagi SD/MI,SMP/MTs, penerima subsidi dan Pemerintah dan / Pemerintah Daerah;
3)      Berdasar kriteria hasil ujian nasional bagi SMA/SMK, MA/MAK, dan kriteria tambahan bagi SMK/MAK;
4)      Sesuai dengan daya tampung sekolah / madrasah
c.       Orientasi peserta didikbaru yang bersifat akademik dan pengenalan lingkungan tanpa kekerasan dengan pengawasan guru.
2.      Sekolah/Madrasah
a.       Memberikan layanan konseling kepada peserta didik;
b.      Melaksanakan kegiatan ekstrakulikuler untuk para peserta didik;
c.       Melakukan pembinaan prestasi unggulan;
d.      Melakukan pelacakan terhadap alumni;

d.      Manajemen Kurikulum
Berkenaan denganmanajemen kurikulum, setiap satuan pendidikan sekolah/madrasah harus mengikuti ketentuan sebagai berikut.
1.      Sekolah/madrasah menyusun KTSP.
2.      Penyusunan KTSP memperhatikan standarkompetensi lulusan, standar isi, dan peraturan pelaksanaannya.
3.      KTSP dikembangkan sesuai dengan kondisi sekolah/madrasah, potensi atau karakteristik daerah, sosial budaya masyarakat setempat dan peserta didik.
4.      Kepala sekolah/madrasah bertanggungjawab atas tersusunnya KTSP.
5.      Wakil Kepala SMP/MTs dan wakil kepala SMA/SMK/MA/MAK bidang kurikulum bertanggung jawab atas pelaksanaan penyusunan KTSP
6.      Setiap guru bertanggungjawab menyusun silabus mata pelajaran yang diampunya sesuai dengan standar isi, standar kompetensi lulusan, dan panduan penyusunan KTSP.
7.      Dalam penyusunan silabus, guru dapat bekerja sama dengan Kelompok Kerja Guru (KKG), Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP), Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP), atau Perguruan Tinggi.
8.      Penyusunan KTSP tingkat SD dan SMP dikoordinasi, disupervisi, dan difasilitasi oleh Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota sedangkan SDLB,SMPLB,SMALB,SMA dan SMK oleh Dinas Pendidikan Provinsi yang bertanggungjawab dibidang pendidikan. Khusus untuk penyusunan KTSP Pendidikan Agama (PA) tingkat SD dan SMP dikoordinasi, disupervisi, dan difasilitasi oleh Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota,sedangkan untuk SDLB,SMPLB,SMALB,SMA,dan SMK oleh Kantor Wilayah Departemen Agama;
9.      Penyusunan KTSP tingkat MI dan MTs dikoordinasi, disupervisi, dan difasilitasi oleh Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota sedangkan MA dan MAK oleh Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi.
Berkenaan dengan Kalender Pendidikan yang digunakan, Permendiknas No.19 Tahun 2007 mengatur  sebagai berikut.
1.      Sekolah/madrasah menyusun kalender pendidikan/akademik yang meliputi jadwal pembelajaran, ulangan,ujian,kegiatan ekstrakulikuler dan kulikuler, dan hari libur.
2.      Penyusunan kalender pendidikan/akademik :
a.       Didasarkan pada standar isi;
b.      Berisi mengenai pelaksanaan aktivitas sekolah/madrasah selama satu tahun dan dirinci secara semesteran,bulanan dan mingguan;
c.       Diputuskan dalam rapat dewan pendidik dan ditetapkan oleh kepala sekolah/madrasah.
3.      Sekolah/madrasah menyusun jadwal penyusunan KTSP.
4.      Sekolah/madrasah menyusun mata pelajaran yang dijadwalkan pada semester gasal, dan semester genap.

DAFTAR PUSTAKA
Suparlan. 2013. MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH dari Teori sampai dengan
Praktik.PT Bumi Aksara: Jakarta